Pemulihan Sekitar Damaskus Suriah Dimulai dari Daraya dan Harasta

Rif Dimashq, wilayah yang mengelilingi ibu kota Damaskus, menjadi saksi kehancuran paling parah selama perang Suriah. Kawasan-kawasan seperti Ghouta, Hajar Aswad, Zabadani, hingga Daraya dan Harasta hancur akibat pertempuran sengit yang berlangsung bertahun-tahun. Ribuan bangunan rata dengan tanah, jutaan warga kehilangan rumah, dan puluhan ribu keluarga terpaksa mengungsi.

Sebuah program bincang-bincang yang disiarkan baru-baru ini mengangkat isu pemulihan kawasan tersebut. Data yang dipaparkan menunjukkan betapa masifnya kerusakan. Di Ghouta saja, lebih dari 34 ribu bangunan mengalami kehancuran. Sementara di Hajar Aswad tercatat 5 ribu unit, dan di Zabadani lebih dari 3.300 bangunan rusak. Angka-angka ini mencerminkan skala tantangan yang harus dihadapi pemerintah dan masyarakat.

Diskusi itu menyoroti bagaimana ribuan keluarga kini hidup tanpa rumah tetap. Banyak dari mereka menumpang di kamp pengungsian atau rumah saudara, sementara sebagian lainnya memilih tinggal di bangunan setengah hancur. Situasi ini mendorong munculnya kebutuhan mendesak akan perumahan yang layak huni.

Gubernur Rif Dimashq, Amer Sheikh, yang hadir dalam program tersebut, menegaskan bahwa proses rekonstruksi harus dimulai dengan dasar hukum yang jelas. Verifikasi kepemilikan tanah menjadi langkah pertama, agar pembangunan kembali tidak memunculkan konflik baru di kemudian hari.

Dua wilayah, yakni Daraya dan Harasta, disebut akan dijadikan proyek percontohan rekonstruksi. Keduanya dipilih karena memiliki tingkat kerusakan signifikan sekaligus nilai simbolis bagi warga Rif Dimashq. Harapannya, keberhasilan pembangunan di sana dapat menjadi model untuk kawasan lain.

Selain urusan legalitas tanah, tantangan besar lainnya adalah tingginya harga sewa. Banyak keluarga yang kembali tidak mampu menyewa rumah meskipun kondisi tempat tinggalnya sederhana. Hal ini memunculkan tekanan sosial yang harus segera dicarikan solusi.

Diskusi juga menyinggung soal layanan dasar seperti pendidikan dan kesehatan. Puluhan sekolah hancur atau rusak berat, membuat ribuan anak tidak bisa bersekolah dengan layak. Pemerintah setempat berjanji merenovasi 126 dari 344 sekolah yang terdampak, sebagai langkah awal pemulihan sektor pendidikan.

Di bidang kesehatan, fasilitas yang ada jauh dari mencukupi. Banyak klinik dan rumah sakit kecil tidak lagi berfungsi. Masyarakat terpaksa menempuh perjalanan jauh ke pusat Damaskus untuk mendapatkan layanan medis. Pembangunan kembali infrastruktur kesehatan menjadi prioritas utama.

Isu keamanan juga menjadi sorotan. Meski pertempuran telah berakhir, masih ada persoalan kejahatan, termasuk peredaran senjata api ilegal yang belum sepenuhnya teratasi. Aparat dituntut lebih tegas untuk memastikan keamanan warga yang pulang.

Pemerintah menggarisbawahi bahwa pembangunan jalan, pasokan listrik, dan air bersih masuk dalam tahap awal proyek rekonstruksi. Infrastruktur ini dipandang vital agar kehidupan normal dapat kembali berjalan di pinggiran Damaskus.

Para peserta diskusi menekankan perlunya kerja sama antara pemerintah pusat, otoritas lokal, dan organisasi internasional. Tanpa dukungan eksternal, beban rekonstruksi diyakini terlalu besar untuk ditanggung sendiri oleh pemerintah Suriah.

Selain tantangan teknis, ada pula dimensi psikologis. Warga yang kembali harus menghadapi trauma kehilangan keluarga, rumah, dan lingkungan yang mereka kenal. Rekonstruksi bukan sekadar pembangunan fisik, tetapi juga pemulihan sosial.

Di beberapa kawasan, warga mulai bergotong royong membersihkan puing dan memperbaiki rumah seadanya. Inisiatif ini dipuji sebagai bentuk ketahanan masyarakat, namun skala kerusakan membuat mereka tetap membutuhkan dukungan lebih besar.

Program bincang-bincang itu juga mengingatkan akan bahaya kemiskinan yang mengintai. Banyak keluarga kehilangan mata pencaharian, dan tanpa pembangunan ekonomi yang nyata, kembalinya warga berpotensi menambah beban sosial.

Dalam jangka panjang, pemerintah berencana mengembangkan kawasan perkotaan modern di Rif Dimashq. Perumahan baru dengan desain kontemporer akan dibangun, bersamaan dengan fasilitas umum yang lebih memadai.

Namun semua rencana ini memerlukan waktu, biaya, dan stabilitas politik. Banyak pengamat meragukan kecepatan realisasi proyek, mengingat Suriah masih menghadapi sanksi internasional dan keterbatasan anggaran.

Meski begitu, optimisme tetap ada. Warga yang diwawancarai dalam program tersebut menyatakan harapan agar kehidupan normal segera kembali, meskipun dengan langkah kecil dan bertahap.

Rif Dimashq dianggap sebagai pintu gerbang Damaskus. Jika pinggiran kota ini berhasil dibangun kembali, maka citra pemulihan nasional Suriah akan lebih nyata terlihat.

Program tersebut ditutup dengan pesan bahwa rekonstruksi bukan hanya tanggung jawab pemerintah, tetapi juga seluruh masyarakat. Dengan solidaritas, kesabaran, dan kerja bersama, pinggiran Damaskus diharapkan bisa bangkit dari reruntuhan.

Apabila proyek-proyek percontohan di Daraya dan Harasta berjalan sesuai rencana, maka harapan akan kebangkitan Rif Dimashq akan semakin mendekati kenyataan. Itu sekaligus menandai dimulainya babak baru bagi warga yang selama ini hidup dalam bayang-bayang perang.

Posting Komentar

Distributed by Gooyaabi Templates | Designed by OddThemes